Minggu, 11 November 2012

Media R 1

FENOMENA PENDIDIKAN, GURU, DAN
UNDANG – UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
Oleh
  1. Rohmad, M. Pd.

ABSTRAK

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.








  1. PENDAHULUAN

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara telah menaruh perhatian sangat tinggi terhadap dunia anak. Melalui upayanya di bidang pendidikan, tokoh pendidik yang mencetuskan konsep Tut Wuri Handayani itu mendirikan Perguruan Taman Siswa awal tahun 1920-an. Di lembaga inilah Ki Hajar Dewantara  merealisasikan gagasan-gagasannya di bidang pembangunan pendidikan.
Sejak Indonesia merdeka hingga akhir dasa warsa 1990-an, perhatian terhadap anak tampak lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan. Hal itu pun masih belum optimal, terbukti dari masih terseok-seoknya program perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pada sisi lain, perhatian terhadap dunia anak dalam bidang sosial, pembangunan karakter, tampak kurang menggembirakan. Beberapa contoh diantaranya adalah banyak anak yang belum cukup umur menjadi pekerja di pabrik, menikah usia dini, dan ikut menanggung beban ekonomi keluarganya.
Sejak isu hak asasi manusia (HAM) mengemuka yang kemudian mewarnai amandemen UUD 1945, perhatian terhadap dunia anak menjadi lebih serius. Masuknya pasal HAM dalam amandemen UUD 1945 pada giliranya memberi pengaruh besar terhadap lahirnya  Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebelum kita berbicara lebih jauh, berdasarkan UU No 23 tahun 2002, pada BAB 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan anak adalah sebagai berikut :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  

Sedangkan pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa :

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat  hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat  perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selanjutnya, pasal 1 ayat 12 menegaskan bahwa:

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.

Dari penjelasan beberapa dapat disimpulkan bahwa apabila ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, usia anak sejak dalam kandungan hingga umur 18 tahun itu masuk dalam kategori: usia kandungan, usia dini (0-6 tahun), usia kanak-kanak (7-12 tahun), dan usia remaja (13-18 tahun). Pada rentang usia tersebut, anak mengalami perkembangan sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Anak melaksanakan tugas-tugas perkembangan (developmental task) sesuai dengan perkembangan fisik dan psikologisnya.
Pada usia kanak-kanak, anak mulai memaksimalkan seluruh fungsi dan potensi panca inderanya. Pada masa ini, pembentukan karakter anak berperan sangat penting. Selanjutnya, pada masa remaja, anak mulai mencari jati diri, melaksanakan peran sesuai gender-nya, dan mulai memerankan diri sebagai manusia dewasa. Ciri sangat menonjol pada masa remaja adalah emosi anak yang cenderung labil. Mereka berada dalam masa pencarian identitas diri. Boleh jadi, kita selama ini kurang memperhatikan anak karena kurangnya pemahaman terhadap dunia mereka. Oleh karena itu, tidak jarang kita memaksanakan anak berperan sebagai orang dewasa.
Begitu pentingnya dunia anak, maka sudah selayaknya jika kita  memberikan perhatian lebih kepada mereka. Apalagi, hasil penelitian ahli-ahli psikologi maupun  ilmu syaraf (neurology) menyatakan bahwa masa anak, terutama  usia dini, merupakan rentang usia yang sangat penting dalam perkembangan  kehidupan manusia. Pada fase ini anak mengalami perkembangan sangat pesat, baik  fisik,  motorik, bahasa, maupun kecerdasannya. Begitu strategisnya, sehingga dikenal  dengan  usia emas (golden age).
Perkembangan fisik dan otak sejatinya sudah dimulai sejak dalam kandungan. Tony Buzan, seorang pakar otak yang menulis tak kurang dari 80 judul buku mengenai otak,  menyatakan bahwa selama kurang lebih sembilan bulan dalam kandungan, otak bayi berkembang lebih cepat dibandingkan saat  sudah lahir ( Tony Buzan ; 2005).
Selain itu hasil kajian sangat fenomenal dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom. Psikolog kondang dari Amerika Serikat itu  menyatakan bahwa  pada usia 4 tahun perkembangan intelektual atau kecerdasan anak sudah mencapai 50%. Pada usia 8 tahun, tingkat kecerdasannya mencapai 80%, dan usia 18 tahun mencapai 100%.  Sementara dari sisi pertumbuhan fisik, anak yang baru lahir sudah mencapai 25%.  Pada usia 6 tahun mencapai 90%. Kesempurnaan fisik manusia dicapai pada usia 12 tahun (100 %).  Jadi dapat disimpulkan bahwa begitu vitalnya dunia anak. Secara  psikologis, anak berada dalam rentang usia yang mengalami perkembangan sangat pesat baik fisik maupun psikologis. Secara yuridis, kita juga sudah mempunyai UU yang mewajibkan orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara  memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hal-hak anak. Pertanyaannya, apakah tataran ideal yang tertera dalam UU Perlindungan Anak itu sudah dilaksanakan dengan baik? Apakah kita sudah memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak anak secara memadai? Ini merupakan pertanyaan renungan yang harus kita introspeksi.

B. BAGAIMANA PENDIDIK MENYIKAPINYA ?
Sebagai seorang pendidik kita terkadang dihadapkan pada posisi sulit dalam menyikapi kelakuan dan tingkahlaku peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran yang kadang membuat emosi dan  menyebabkan pendidik kehilangan kendali terhadap peserta didiknya. Sebagai seorang pendidik, kita tidak berhak melakukan penganiayaan baik secara fisik maupun psikis. Bentuk penganiayaan secara fisik tentu kita sangat maklum, antara lain menampar atau memukul. Sementara bentuk penganiayaan psikis, tampaknya bisa berarti sangat luas, termasuk di dalamnya adalah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, memanggil dengan julukan ( misal karena rambutnya keriting, lantas dipanggil kriwul ), atau bentuk perlakuan dan ucapan lisan yang lain. Beberapa kejadian misalnya pada saat proses pembelajaran berlangsung, pendidik terkadang harus menegur peserta didik yang membuat gaduh suasana belajar, kemudian peserta didik malah  mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas ( contoh, cerewet, galak, gaya, dan seterusnya ). Intinya setiap pendidik memberi teguran, ada saja peserta didik yang  selalu membantah, dan tidak jarang mengancam akan melaporkan pendidik tersebut ke KOMNAS HAM atau perlindungan anak.
Pendidikan di negara kita kadang sudah kebolak-balik. Pendidik selalu khawatir kalau siswanyanya tidak lulus ujian nasional. Tapi menurut pendapat saya justru lebih khawatir kalau peserta didik saya tidak mengenal apa itu sopan santun, budi pekerti luhur, atau tak memiliki ahlak dan moral yang baik. Sebab mestinya pekerti luhurlah yang harus mendarah daging di sanubari tiap anak didik kita. Setelah itu, barulah kita merasa nyaman untuk bisa mentransfer ilmu ke dalam otak setiap anak didik kita.
Menyikapi masalah tentang UU perlindungan anak tersebut, yang mesti dilakukan pendidik terhadap peserta didiknya adalah menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Akan tetapi bagaimana seandainya pembelajaran yang sudah diusahakan nyaman dan menyenangkan masih membuat peserta didik memperlakukan pendidik dengan semena-mena, mungkinkah perlu dibuat sebuah undang-undang untuk melindungi pendidik? Saya belum yakin, apakah di dalam Undang – undang Guru dan Dosen ( UUGD ) sudah memuat aturan teknis atau regulasi-regulasi tentang bagaimana semestinya pendidik dan peserta didik saling bisa menempatkan diri.

C. PERLUKAH UNDANG – UNDANG PERLINDUNGAN PENDIDIK?
Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai social machine yang bertanggungjawab untuk merekayasa masa depannya. Seorang pendidik bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya, seperti adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya pendidik  melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji.
Apabila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan ( reward ) dan hukuman ( funishment ), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru dan dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan pendidik. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan pendidik murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.

D. PERLAKUAN TERHADAP PENDIDIK
Sebagai tenaga pendidik, kita seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Pendidik dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala pendidik berupaya untuk menegakkan kedisplinan, pendidik dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Apabila pendidik gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala pendidik ingin melakukan hukuman terhadap peserta didik dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan pendidik tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, seringkali pendidik tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi pendidik berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.

E. URGENSI UU GURU DAN DOSEN
Secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU. No 14 tahun 2005.
 Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa :

 Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan / atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU. No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan / atau resiko lainnya.


Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU. No 14 tahun 2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. Undang – undang  tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru dan dosen seringkali lepas dari perhatian.

F. BEBERAPA USAHA DALAM PERLINDUNGAN HAK ANAK
Penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan waktu. Sejak tonggak awal HAM melalui Magna Charta tahun 1215, yang merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan Raja John dari Kerajaan Inggris, hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia.
Berbagai bentuk peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Sebagian besar negara pun mencantumkan permasalahan mengenai hak-hak dasar ke dalam konstitusinya masing-masing, termasuk Indonesia dengan undang-undang dasarnya. Membicarakan masalah perlindungan akan selalu terkait dengan penegakan hukum karena perlindungan merupakan salah satu bagian dari tujuan penegakan hukum. Negara ini adalah negara yang berdasar atas hukum, maka perlindungan HAM sudah barang tentu juga merupakan tujuan penegakan hukum secara konsisten.
Salah satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama baik di dunia internasional maupun di Indonesia adalah hak anak. Masalah seputar kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak Indonesia namun tidak mampu diwujudkan oleh negara, dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Berbagai usaha dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak, yang di satu sisi terus dicegah pelaksanaannya, namun di sisi lain diharapkan dapat menjadi salah satu wujud dari usaha perlindungan anak.
Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang atau konflik bersenjata.
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat kedahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam jangka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang yang menyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.
Demikian juga di negara-negara yang dalam keadaan aman, yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak ( child labor ), anak jalanan ( street children ), pekerja seks anak ( child prostitution ), penculikan dan perdagangan anak ( child trafficking ), kekerasan anak ( violation ) dan penyiksaan ( turtore ) terhadap anak.
Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan ke- hendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya.
Pada sisi lain sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran hukum, tapi tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakukan yang tidak manusiawi oleh pihak tertentu, dan kadang kala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa perbuatannya telah melanggar hak-hak anak.

G. SOLUSI YANG DITAWARKAN
Kita memang tidak dapat menutup mata terhadap tindakan oknum pendidik yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua atau masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi pendidik. Mereka terlalu banyak menuntut pendidik agar dapat menghantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan.
Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan pendidik dalam menghadapi peserta didik yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 3 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling ( BK ). Kedua, apabila selama 3 kali pemanggilan belum menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.
Apabila UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU. No 14 tahun 2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih belum terlihat berkontribusi terhadap nasib guru dan dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru dan dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru dan dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Andy, 2009, Usaha Perlindungan Hak Anak Pada Otonomi Daerah.
Stevani Elisabeth, 2007, UU Perlindungan Anak Tak Kurangi Kekerasan,     Sinar Harapan.

Samsul Nizar, 2009, Pentingnya Undang – undang Perlindungan Guru, Riau Post.

Narni Kurniawan, 2009, Undang – undang Perlindungan Guru, Perlukah?

Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,  Sumber: LN 2002/109; TLN NO 4235.

Saiful Anam, 2008, Anak Pena Pendidikan.

Dua Tahun Undang-Undang Perlindungan Anak, Pelaksanaan Masih Jauh dari Harapan, Harian Kompas ; 2007.

R. Valentina Sagala, 2008, Institut Perempuan : Sejumlah UU. RI Abaikan HAM Anak dan  Perempuan.

Dani, 2008, Sosialisasi UU NO.23 Perlindungan Anak & Konvensi Hak Asasi Anak-anak.

UU. RI No. 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission To Employment ( Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja).

UU. RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar