Senin, 12 November 2012

Guru yang BERKESAN


Bagaimana dan apa  ciri-ciri yang dimaksudkan dengan seorang guru yang berkesan itu? Ketua Pengarah Pendidikan Malaysia, Dato' Dr. Abdul Shukor Abdullah menyebut ciri-ciri guru berkesan sebagaimana berikut:

  • Bersikap profesional.
  • Berkarakter.
  • Mempunyai ciri-ciri kekuatan teori dan praktek.
  • Kaya ilmu.
  • Bertindak di atas landasan etika dan tatasusila kerja.
  • Bermoral teguh.
  • Senantiasa berusaha meningkatkan kualitas hasil pembelajaran.
  • Seimbang antara softskills dan hardskills.
  • Dapat menilai kekuatan dan kelemahan siswa.
  • Melengkapkan diri dengan kemahiran yang sejajar dengan tuntutan jaman.
  • Menampilkan watak terpuji, berimej, berperibadi mulia, berwawasan sebagai pendidik unggul pada setiap masa.
  • Memastikan situasi Guru adalah motivator, vasilitator dalam pembelajaran.
  • Berupaya membentuk perwatakan murid dengan pelbagai keteguhan nilai diri (bermoral, berakhlak mulia, berketerampilanm, pandai menyesuaikan diri dengan situasi tertentu).
  • Taat dan setia terhadap perkhidmatannya, mempertahankan martabat profesionnya.

Setujukah Anda ? Hanya anda yang tahu jawabannya….

Minggu, 11 November 2012

Media R 2

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN GURU DIKJASOR
DALAM MEMBELAJARKAN SISWA

Oleh

  1. ROHMAD, M. Pd.


ABSTRACT

This study is based on physical education and sport observer finding which conclude that a lot of learning process in Dikjasor is not effective yet. Learning process conducted by Dikjasors’ Teacher still tends to be centered of the teacher, and almost has never been done by students initiative it self. To be able to teach student better, teacher need to improve his/her ability, which one of its way is perform a Classroom Action Research.
Referring to the matter above, hence the problem discussed in this case is Dikjasor’s teacher, which did not know yet about the aim and concept of Dikjasor, and also learning with humanity approach. The aim of this study is to correct and to improve the quality of Dikjasor’s teacher in teaching the student. While one of this study benefits is expected for the renewal (innovation) in education especially learning process.



Keywords: icrease, physical education and sport’s skill, students’ learning



A.    Pendahuluan
Upaya peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu fokus di dalam pembangunan pendidikan dewasa ini. Undang – undang R.I. no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan dasar hukum untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Penerapan semua ketentuan dalam Undang – undang tersebut diharapkan dapat mendukung segala upaya untuk memecahkan masalah pendidikan, yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap masalah – masalah makro bangsa Indonesia.

Sejalan dengan itu, pemberlakuan Undang – undang R.I. no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menuntut penyelenggaraan pendidikan dengan kewenangan yang cukup kepada daerah atau sekolah untuk  merancang dan menentukan hal – hal yang akan dibelajarkan, proses pembelajaran, dan penilaian keberhasilan dari proses pembelajaran. Oleh sebab itu sebagai konsekuensinya adalah tersedianya sumber daya manusia dalam hal ini guru yang cukup memadai.
Untuk dapat menghasilkan sumber daya manusia yang memandai atau berkualitas adalah melalui proses pendidikan yang berkualitas pula. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan pembelajaran siswa dalam mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah.
Salah satu pendekatan pemecahan berbagai permasalahan yang digunakan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan itu adalah meningkatan keterampilan guru dalam pembelajaran siswa.
Para guru tidak lagi cukup dianggap sekedar sebagai penerima pembeharuan yang telah tuntas dikembangkan, melainkan itu bertanggungjawab dan oleh karena itu berperan aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri terhadap proses pembelajaran yang dikelolahnya, termasuk guru pendidikan jasmani dan olahraga.

B.   Pendidikan Jasmani dan Olahraga
1.      Perkembangan konsep Dikjasor
Pengertian pendidikan jasmani dan olahraga hingga saat ini masih dipertentangkan, baik oleh pakar olahraga, maupun oleh pakar ilmu  lainnya. Istilah pendidikan jasmani dan olahraga semakin berkembang seiring dengan perkembangan dan tuntutan ilmu pengetahuan tentang olahraga. Masing – masing negara memiliki landasan filsafat dan konsep pendidikan jasmani dan olahraga, sehingga perlu mencermatinya jika kita ingin mengkajinya lebih dalam tentang filsafat dan konsep Dikjasor tersebut.
Sebenarnya ada tiga pohon ilmu yang tumbuh berdekatan, yang saling mempengaruhi tentang pengertian dan garapannya, yaitu : (1) ilmu kesehatan, (2) ilmu olahraga (Sport Sciences), dan (3) ilmu pendidikan.
Menurut Haag (1994:56) adan lima konsep dasar sebagai pertimbangan perkembangan ilmiah terhadap pendidikan olahraga (Sport Pedagogy), yang apabila diterjemahkan  adalah sebagai berikut : (1) Pendidikan Olahraga sebagai bagian dari pendidikan, (2) Pendidikan Olahraga sebagai bagian dari ilmu olahraga, (3) Isi dari Pedidikan Olahraga, (4) Metode ilmiah dalam Pendidikan Olahraga, dan (5) Konsep penelitiannya mengarah ke Pendidikan Olahraga.
2.      Konsep pendidikan jasmani dan olahraga
Untuk memiliki wawasan, konsep, dan prinsip – prinsip pendidikan jasmani dan olahraga yang mantap, kiranya kita perlu mengikuti pola  pikir Williams (1959) dalam Soemosasmito (1994:11), bahwa prinsip – prinsip pendidikan jasmani dan olahraga akan mantap apabila didukung oleh landasan falsafah dan fakta ilmiah, seperti bagan : 1.1. di bawah ini.

Dari data movement education, sport sciences, kinesiologi, dan physical education yang telah dianalis dapat digunakan untuk   mendukung konsep pendidikan jasmani dan olahraga dari sudut fakta ilmiah yang bersifat universal.
Selain didukung fakta ilimiah, konsep pendidikan jasmani dan olahraga harus didukung oleh landasan falsafah, yaitu cara suatu negara memandang dan menghayati suatu fenomena dengan mempertimbangkan keyakinan falsafahnya. Tentunya bagi bangsa Indonesia, landasan   falsafah yang dianut adalah Pancasila dan UUD 1945.
Berikutnya, di dalam UU. RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab 10 Kurikulum pasal 37 ayat (1) butir (h) tertulis kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat “pendidikan jasmani dan olahraga”.
Berlandaskan pada falsafah dan fakta ilmiah tersebut, bangsa Indonesia memiliki istilah “pendidikan jasmani dan olahraga” yang merupakan sekeping mata uang yang tidak dapat terpisahkan.    Seandainya masing – masing keping tersebut terpaksa terpisah, maka   nilai dan maknanya akan berkurang bahkan merosot. Dalam pelaksanaannya pendidikan jasmani cenderung dilaksanakan pada jam pelajaran di sekolah, sedangkan pendidikan olahraga cenderung dilaksanakan di luar jam pelajaran sekolah (Soemosasmito, 1994:13).
1.      Tujuan pendidikan jasmani dan olahraga
Dengan menyadari akan keberadaan manusia dan keterkaitannya dengan lingkungan maka tujuan Dikjasor adalah peningkatan perilaku hidup sehat jasmani dan rohani bagi siswa, dengan mengkondisikan lingkungan belajar yang konduksif.
 Menurut Soemosasmito (1994:113–114) Dikjasor sebagai    sekeping mata unag logam yang mempunyai dua sisi, yaitu : (1) sisi Dikjas yang cenderung mengarah pada aspek rohani dan (2) sisi Diktor yang cenderung mengarah pada aspek jasmani, maka kedua sisi tersebut harus saling mengait. Pada dasarnya kedua sisi tersebut mempunyai garapan yang berbeda, antar satu dengan yang lainnya berperan saling melengkapi dalam mewujudkan pribadi siswa yang sehat jasmani dan rohani. Oleh karena itu perhatian guru Dijaksor tidak hanya mengarah pada pelatihan teknik gerak saja, namun juga mengarah pada pengalaman belajar yang merangsang tumbuh kembangnya pribadi siswa yang utuh.
Sebagai konsekuensinya, maka pendidikan manusia seutuhnya adalah pendidikan yang memanfaatkan aspek jasmani – rohani secara  tepat sehingga memungkinkan tumbuh kembangnya daya intelektual, sosial, emosional, dan estetika pada diri siswa.
Sebaliknya, pelaksanaan pendidikan manusia seutuhnya akan menghadapi kendala, apabila aspek jasmani diabaikan karena mengutamakan tuntutan keterampilan intelektual daripada keterampilan jasmani.
Apabila dianalisis lebih lanjut, tujuan Dikjasor yang mengarah    pada sehat seutuhnya dengan mencakup aspek sehat jasmani dan rohani tersebut, secara rinci memuat enam dimensi yaitu dimensi sehat jasmani, sosial, emosional, mental, intelektual, dan spiritual, yang  apabila dirinci dan disusun dapat digunakan oleh guru sebagai indikator keberhasilan pembelajaran siswa, seperti bagan : 1..2 berikut ini :

Perilaku Hidup Sehat Seutuhnya
Indikator Keberhasilan Membelajarkan
Siswa
1    Aspek Sehat
Jasmani (tujuan sisi Dikor)
1)      Tumbuh kembang,   serasi dan
seimbang
2)      Terampil



3)      Bugar



4)      Segar


Mengacu pada pribadi yang memiliki struktur jasmani, yang tampan, serasi dan seimbang.

Pertumbuhkembangan jasmani dan organ – organ tubuh secara serasi dan seimbang.


Gerak yang makin kuat, cepat, tepat, lentur terkoordinasi, luwes, indah, anggun dan tangkas,     yang mendukung tercapainya prestasi olahraga       yang tinggi.
Tidak menghidap penyakit, dapat bekerja dan      belajar relatif lama dan masih memiliki daya       cadang setelah bekerja dan belajar dengan keras.
Tampang selalu segar dan menarik.



Aspek Sehat
Rohani (tujuan sisi
Dikjas)
1)      Sehat Sosial


    2)   Sehat Emosinal


    3)   Sehat Mental


     4)   Sehat Intelektual


  



     5) Sehat Spritual

Mengacu pada pribadi yang berbudi pekerti luhur.

Dapat bekerja sama, tolong – menolong, sikap terbuka, toleransi, dan menghargai pihak lain termasuk lawan.
Dapat mengendalikan diri, tenggang rasa, saling memaafkan, saling menghormati, dan dapat mengutarakan pendapat secara santun.
Bersikap jujur, sportif, disiplin, rela berkorban, tangguh mantap, mandiri, dan bertanggung jawab.
Memiliki citra hidup sehat dan berupaya untuk mengaktualisasikan perilaku hidup sehat intelektual yang tampak dalam kehidupan sehari – hari, dan dapat mengantisipasi situasi pertandingan dalam menentukan strategi, teknik, dan taktik yang tepat dan cepat
Dapat mengambil hikmah dan merasakan nikmat karena menghayati, dan dapat mengaktualisasikan perilaku hidup sehat karena mendapat limpahan rahmat dan anugerah dari Tuhan Y.M.E.

Bagan : 1.2.     Perilaku hidup sehat seutuhnya dan indikator keberhasilan pembelajaran dan pelatihan (dalam Soemosasmito, 1997:117)

C.   Pembelajaran Siswa dalam Mata Pelajaran Dikjasor
  1. Psikologi yang melandasi pembelajaran
Dengan memperhatikan bagaimana cara manusia belajar, ada dua teori belajar yang masing – masing mempunyai keunikan tersendiri.   Yang pertama adalah teori behavioristik, dan kedua adalah manusiawi. Dalam pelaksanaannya, sebelum guru Dikjasor membelajarkan siswa secara manusiawi, terlebih dahulu siswa diberi arahan dan contoh (misalnya bagaimana cara melakukan pemanasan), dan setelah siswa dianggap mampu serta menyadari akan kebutuhannya, baru diarahkan dalam proses belajar yang mandiri dan berkelanjutan.
Untuk mencapai tujuan belajar Dikjasor maka pertama kali kita  perlu mengidentifikasi masukan perilaku, yaitu : tujuan apa yang ingin dikuasi siswa, seberapa besar motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran Dikjasor, dan kendala apa yang dihadapi siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Menurut Rogers dalam Charles (1980:27) seperti dikutip Arwin (2000:22), strategis yang digunakan dalam membelajarkan siswa adalah belajar atas inisiatif sendiri akan lebih cepat membantu pertumbuhan jati diri siswa dan waktunya akan lebih lama serta bernilai tinggi, dibandingkan jika siswa hanya menerima dengan pasif informasi yang diberikan oleh guru.
Dengan strategi pembelajaran tersebut diungkapkan bahwa esensi yang terkandung dalam pembelajaran siswa yang manusiawi adalah :


(1)   melibatkan siswa dalam pembelajaran sebagai pribadi yang unik dari sisi jasmani, emosional dan mental, (2) arahan pembelajaran tumbuh dari dalam diri siswa, (3) pembelajaran mengahargai adanya perbedaan perilaku dan sikap siswa, (4) siswa dirangsang untuk mengevaluasi belajarnya, untuk menumbuhkan rasa merdeka, kreativitas dan percaya diri.


  1. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi merupakan bagian yang terpisahkan (integral) dari suatu proses pembelajaran. Evaluasi dalam proses pembelajaran siswa pada dasarnya memfokuskan bagaimana guru dapat mengetahui efektivitas  hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Melalui evaluasi, guru dapat mengetahui sejauh mana siswa telah memiliki penguasaan keterampilan gerak sesuai  dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Menurut UU. RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab XVI bagian kesatu pasal 58 ayat (1) dijelaskan bahwa :  “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
Akan tetapi kenyataannya, guru dalam melakukan evaluasi cenderung hanya menilai hasil belajarnya saja misalnya berapa jauh siswa dapat melompat, berapa detik siswa dapat berlari memasuki garis finis dan sebagainya. Guru di samping menilai hasil, hendaknya juga menilai  proses yang terjadi selama siswa mengikuti pembelajaran dan juga interaksi sosialnya yaitu hubungan antara siswa dengan siswa dan guru dengan siswa. Oleh karena itu, sudah semestinya evaluasi terhadap    proses pembelajaran hendaknya juga melibatkan siswa.
Pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga diharapkan dapat berlangsung secara berkelanjutan agar dapat menjangkau tujuan belajar jangka panjang. Oleh sebab itu evaluasinya juga diharapkan dapat berlangsung secara berkelanjutan pula.
Salah satu alternatif yang digunakan untuk melaksanakannya    adalah dengan pendekatan kelompok yang akhirnya mengarah kepada pendekatan individu. Dengan model evaluasi seperti ini, maka diharapkan akan timbul kemandirian pada diri siswa dan pembelajaran benar –     benar tampak berpusat kepada siswa (teacher center) dan tidak hanya didominasi oleh guru.

D.   Beberapa Permasalahan Dikjasor
Beberapa permasalahan Dikjasor yang dapat dikemukakan disini diantaranya adalah masih ada beberapa guru Dikjasor yang belum kompeten di bidangnya, yang mana indikatornya adalah sebagian guru tersebut belum mengetahui tentang konsep dan tujuan pembelajaran yang manusiawi, serta kurangnya sumber – sumber dan perlengkapan yang digunakan untuk mendukung pembelajaran.
Model praktek pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga yang dilakukan oleh guru Dikjasor masih menuntut siswa untuk melakukan pelatihan fisik berdasarkan perintah guru, dan hampir tidak pernah dilakukan atas inisiatif anak itu sendiri. Dengan kata lain, siswa sering hanya dianggap sebagai objek dan bukan subjek pendidikan.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, biasanya siswa putri sering menghindari pelajaran dengan alasan haid, sakit kepala, dan sebagainya. Sementara siswa putra mengikuti pelajaran dengan tidak sungguh – sungguh, hal ini dapat dilihat dari cara berpakaian yang tidak sesuai (terkandang tidak memakai celana olahraga), dan dalam melakukan kegiatan yang terkesan malas – malasan. Hal ini mungkin disebabkan karena kekurangmampuan atau keterbatasan guru Dikjasor yang dalam membelajarkan  siswa, dengan materi yang diberikan itu – itu saja (rutinitas) sehingga terkesan membosankan.
Yang perlu diingat dan tidak kalah pentingnya bahwa selama ini siswa merasa kurang tertarik pada pelajaran Dikjasor karena pembelajaran ini kurang dapat menentukan “nasib” dapat menentukan kenaikan kelas atau kelulusan. Apalagi setelah ada ketentuan beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yang harus ditempuh melalui Ujian Nasional (UN), maka memberi dampak bagi siswa dengan memprioritaskan belajarnya pada mata pelajaran tersebut. Sehingga mata pelajaran lain tidak dianggap penting termasuk mata pelajaran Dikjasor, akibatnya siswa beranggapan bahwa materi pelajaran Dikjasor tidak perlu dipelajari dan mereka tidak perlu belajar atau berlatih di luar penyajian materi pada jam pelajaran.
Jumlah jam pelajaran yang rata – rata hanya 2 jam per- minggu juga semakin memperburuk kondisi pembelajaran Dikjasor. Seharusnya kurikulum yang ada  memberikan porsi jam yang lebih banyak dari yang selama ini.
Beberapa permasalahan yang muncul di lapangan itu disebabkan karena siswa belum dapat merasakan hasil dari pembelajaran mata pelajaran Dikjasor di sekolah.

E. Alternatif  Pemecahan Masalah

1.      Guru selalu memperbaharui Pengetahuannya
a.      Kelompok Kerja Guru ( KKG ) dan MGMP
Kelompok Kerja Guru ( KKG ) yang biasa dilakukan oleh guru – guru Dikjasor di SD perlu ditingkatkan dan mendapat perhatian serius. Hal ini dikarenakan KKG dapat dijadikan sebagai salah satu wahana untuk bertukar pikiran mengingat tidak semua guru yang membelajarkan Dikjasor di SD mempunyai latar belakang disiplin ilmu Dikjasor sebab biasanya yang membelajarkan adalah guru kelas. Dengan adanya pertemuan yang rutin dan berkualitas diharapkan akan dapat mendapatkan hal – hal baru di dalam membelajarkan siswa khususnya Dikjasor.
Di samping KKG, pertemuan MGMP yang biasa dilakukan oleh guru – guru Dikjasor di SMP dan SMA serta SMK juga lebih dimaksimalkan sebab apabila ada permasalahan – permasalahan di dalamnya dapat dipecahkan secara bersama – sama, tentu dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi di lingkungan sekolah masing – masing.
b.      Mengikuti pertemuan ilmiah
Para guru Dikjasor harus sering mengikuti kegiatan ilmiah diantaranya workshop dan diklat, seminar, dan sebagainya untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dan tidak hanya sekedar bereoni dengan teman – teman atau sekedar mendapatkan sertifikat untuk menambah angka kredit dan kepentingan sertifikasi guru semata.
2.      Pemberian Reward dan Punishment
Kurangnya reward atau penghargaan menjadi salah satu sebab guru kurang mampu berinovasi dalam membelajarkan siswa. Di samping itu masih banyak guru yang membelajarkan siswa dengan seenaknya nanum tidak mendapatkan teguran, peringatan, maupun hukuman ( punishment ).
3.      Menambah jam pelajaran
Selain itu jumlah jam pelajaran yang pada umumnya 2 jam pelajaran setiap Minggu-nya perlu ditambah, sebab dengan indikator pembelajaran yang begitu banyak belumlah memadahi. 
4.      UN untuk mengukur Standar Pendidikan bukan Standar Kelulusan
Penerapan Ujian Nasional ( UN ) terhadap beberapa mata pelajaran sebagai syarat kelulusan siswa perlu kiranya dikaji ulang, sebab menurut amanah UU yang melakukan evaluasi pembelajaran adalah pendidik atau guru. Menurut Penulis hasil dari Ujian Nasional itu dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan klasifikasi sekolah atau daerah untuk mengetahui sejauh mana kualitas pendidikan diwilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Arwin. 2000. Efektivitas Pembelajaran Siswa Dalam Pendidikan Jasmani di SD Negeri 5 Kotamadya Bengkulu. Tesis. Unesa – Surabaya.

Dinas Pendidikan. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Jombang : Dinas Pendidikan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003.  Undang – undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas Dirjen Dikdasmen.

Haag, H. 1994. Theoetical Foundation of Sport Science as a Scientific Discipline. Schorndorf : Hofmann, Karl Hofmann GmbH & Co.

Journal. 1990. PP 30 Tahun 1990 – Pendidikan Tinggi PP 30/1990. Jakarta : LN 1990/38; TLN No. 3414.

Journal. 2003. Standart Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani SMA / MA. Jurnal.

Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan. 2000. Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta : Depdiknas Dirjen Dikti Skretariat Dewan Dikti.

Mutohir. C.T. 2000. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani Yang Seimbang dan Efektif. Makalh. Disampaikan dalam seminar ilmiah keolahragaan 15 sampai 17 Juni. Batu – Malang.

Siedentop. D. 1983. Developing Teaching Skills in Physical Education. Mountain View, CA : Mayfield Publishing.

Soemosasmito. 1994. Pedoman PPL Dikjas, bagi Praktikan, Guru Pamong, dan Supervisor. Surabaya : FPOK IKIP Surabaya.

Soemosasmito. 1999. Penelitian Tindakan Supervisi Kelompok Bagi Praktikan Program Pengalaman Lapangan. Disertasi : IKIP Malang

Wibowo. 2002. Peningkatan Guru dalam Membelajarkan Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani. Makalah Komprehensif. Unesa Surabaya.

Wuest. D.A. dan Bucher, C.A. 1995. Fondation of Physical Education and Sport. St Louis, Missouri : Mosby.


Media R 1

FENOMENA PENDIDIKAN, GURU, DAN
UNDANG – UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
Oleh
  1. Rohmad, M. Pd.

ABSTRAK

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.








  1. PENDAHULUAN

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara telah menaruh perhatian sangat tinggi terhadap dunia anak. Melalui upayanya di bidang pendidikan, tokoh pendidik yang mencetuskan konsep Tut Wuri Handayani itu mendirikan Perguruan Taman Siswa awal tahun 1920-an. Di lembaga inilah Ki Hajar Dewantara  merealisasikan gagasan-gagasannya di bidang pembangunan pendidikan.
Sejak Indonesia merdeka hingga akhir dasa warsa 1990-an, perhatian terhadap anak tampak lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan. Hal itu pun masih belum optimal, terbukti dari masih terseok-seoknya program perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pada sisi lain, perhatian terhadap dunia anak dalam bidang sosial, pembangunan karakter, tampak kurang menggembirakan. Beberapa contoh diantaranya adalah banyak anak yang belum cukup umur menjadi pekerja di pabrik, menikah usia dini, dan ikut menanggung beban ekonomi keluarganya.
Sejak isu hak asasi manusia (HAM) mengemuka yang kemudian mewarnai amandemen UUD 1945, perhatian terhadap dunia anak menjadi lebih serius. Masuknya pasal HAM dalam amandemen UUD 1945 pada giliranya memberi pengaruh besar terhadap lahirnya  Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebelum kita berbicara lebih jauh, berdasarkan UU No 23 tahun 2002, pada BAB 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan anak adalah sebagai berikut :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  

Sedangkan pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa :

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat  hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat  perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selanjutnya, pasal 1 ayat 12 menegaskan bahwa:

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.

Dari penjelasan beberapa dapat disimpulkan bahwa apabila ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, usia anak sejak dalam kandungan hingga umur 18 tahun itu masuk dalam kategori: usia kandungan, usia dini (0-6 tahun), usia kanak-kanak (7-12 tahun), dan usia remaja (13-18 tahun). Pada rentang usia tersebut, anak mengalami perkembangan sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Anak melaksanakan tugas-tugas perkembangan (developmental task) sesuai dengan perkembangan fisik dan psikologisnya.
Pada usia kanak-kanak, anak mulai memaksimalkan seluruh fungsi dan potensi panca inderanya. Pada masa ini, pembentukan karakter anak berperan sangat penting. Selanjutnya, pada masa remaja, anak mulai mencari jati diri, melaksanakan peran sesuai gender-nya, dan mulai memerankan diri sebagai manusia dewasa. Ciri sangat menonjol pada masa remaja adalah emosi anak yang cenderung labil. Mereka berada dalam masa pencarian identitas diri. Boleh jadi, kita selama ini kurang memperhatikan anak karena kurangnya pemahaman terhadap dunia mereka. Oleh karena itu, tidak jarang kita memaksanakan anak berperan sebagai orang dewasa.
Begitu pentingnya dunia anak, maka sudah selayaknya jika kita  memberikan perhatian lebih kepada mereka. Apalagi, hasil penelitian ahli-ahli psikologi maupun  ilmu syaraf (neurology) menyatakan bahwa masa anak, terutama  usia dini, merupakan rentang usia yang sangat penting dalam perkembangan  kehidupan manusia. Pada fase ini anak mengalami perkembangan sangat pesat, baik  fisik,  motorik, bahasa, maupun kecerdasannya. Begitu strategisnya, sehingga dikenal  dengan  usia emas (golden age).
Perkembangan fisik dan otak sejatinya sudah dimulai sejak dalam kandungan. Tony Buzan, seorang pakar otak yang menulis tak kurang dari 80 judul buku mengenai otak,  menyatakan bahwa selama kurang lebih sembilan bulan dalam kandungan, otak bayi berkembang lebih cepat dibandingkan saat  sudah lahir ( Tony Buzan ; 2005).
Selain itu hasil kajian sangat fenomenal dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom. Psikolog kondang dari Amerika Serikat itu  menyatakan bahwa  pada usia 4 tahun perkembangan intelektual atau kecerdasan anak sudah mencapai 50%. Pada usia 8 tahun, tingkat kecerdasannya mencapai 80%, dan usia 18 tahun mencapai 100%.  Sementara dari sisi pertumbuhan fisik, anak yang baru lahir sudah mencapai 25%.  Pada usia 6 tahun mencapai 90%. Kesempurnaan fisik manusia dicapai pada usia 12 tahun (100 %).  Jadi dapat disimpulkan bahwa begitu vitalnya dunia anak. Secara  psikologis, anak berada dalam rentang usia yang mengalami perkembangan sangat pesat baik fisik maupun psikologis. Secara yuridis, kita juga sudah mempunyai UU yang mewajibkan orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara  memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hal-hak anak. Pertanyaannya, apakah tataran ideal yang tertera dalam UU Perlindungan Anak itu sudah dilaksanakan dengan baik? Apakah kita sudah memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak anak secara memadai? Ini merupakan pertanyaan renungan yang harus kita introspeksi.

B. BAGAIMANA PENDIDIK MENYIKAPINYA ?
Sebagai seorang pendidik kita terkadang dihadapkan pada posisi sulit dalam menyikapi kelakuan dan tingkahlaku peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran yang kadang membuat emosi dan  menyebabkan pendidik kehilangan kendali terhadap peserta didiknya. Sebagai seorang pendidik, kita tidak berhak melakukan penganiayaan baik secara fisik maupun psikis. Bentuk penganiayaan secara fisik tentu kita sangat maklum, antara lain menampar atau memukul. Sementara bentuk penganiayaan psikis, tampaknya bisa berarti sangat luas, termasuk di dalamnya adalah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, memanggil dengan julukan ( misal karena rambutnya keriting, lantas dipanggil kriwul ), atau bentuk perlakuan dan ucapan lisan yang lain. Beberapa kejadian misalnya pada saat proses pembelajaran berlangsung, pendidik terkadang harus menegur peserta didik yang membuat gaduh suasana belajar, kemudian peserta didik malah  mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas ( contoh, cerewet, galak, gaya, dan seterusnya ). Intinya setiap pendidik memberi teguran, ada saja peserta didik yang  selalu membantah, dan tidak jarang mengancam akan melaporkan pendidik tersebut ke KOMNAS HAM atau perlindungan anak.
Pendidikan di negara kita kadang sudah kebolak-balik. Pendidik selalu khawatir kalau siswanyanya tidak lulus ujian nasional. Tapi menurut pendapat saya justru lebih khawatir kalau peserta didik saya tidak mengenal apa itu sopan santun, budi pekerti luhur, atau tak memiliki ahlak dan moral yang baik. Sebab mestinya pekerti luhurlah yang harus mendarah daging di sanubari tiap anak didik kita. Setelah itu, barulah kita merasa nyaman untuk bisa mentransfer ilmu ke dalam otak setiap anak didik kita.
Menyikapi masalah tentang UU perlindungan anak tersebut, yang mesti dilakukan pendidik terhadap peserta didiknya adalah menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Akan tetapi bagaimana seandainya pembelajaran yang sudah diusahakan nyaman dan menyenangkan masih membuat peserta didik memperlakukan pendidik dengan semena-mena, mungkinkah perlu dibuat sebuah undang-undang untuk melindungi pendidik? Saya belum yakin, apakah di dalam Undang – undang Guru dan Dosen ( UUGD ) sudah memuat aturan teknis atau regulasi-regulasi tentang bagaimana semestinya pendidik dan peserta didik saling bisa menempatkan diri.

C. PERLUKAH UNDANG – UNDANG PERLINDUNGAN PENDIDIK?
Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai social machine yang bertanggungjawab untuk merekayasa masa depannya. Seorang pendidik bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya, seperti adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya pendidik  melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji.
Apabila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan ( reward ) dan hukuman ( funishment ), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru dan dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan pendidik. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan pendidik murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.

D. PERLAKUAN TERHADAP PENDIDIK
Sebagai tenaga pendidik, kita seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Pendidik dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala pendidik berupaya untuk menegakkan kedisplinan, pendidik dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Apabila pendidik gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala pendidik ingin melakukan hukuman terhadap peserta didik dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan pendidik tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, seringkali pendidik tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi pendidik berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.

E. URGENSI UU GURU DAN DOSEN
Secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU. No 14 tahun 2005.
 Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa :

 Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan / atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU. No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan / atau resiko lainnya.


Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU. No 14 tahun 2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. Undang – undang  tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru dan dosen seringkali lepas dari perhatian.

F. BEBERAPA USAHA DALAM PERLINDUNGAN HAK ANAK
Penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan waktu. Sejak tonggak awal HAM melalui Magna Charta tahun 1215, yang merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan Raja John dari Kerajaan Inggris, hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia.
Berbagai bentuk peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Sebagian besar negara pun mencantumkan permasalahan mengenai hak-hak dasar ke dalam konstitusinya masing-masing, termasuk Indonesia dengan undang-undang dasarnya. Membicarakan masalah perlindungan akan selalu terkait dengan penegakan hukum karena perlindungan merupakan salah satu bagian dari tujuan penegakan hukum. Negara ini adalah negara yang berdasar atas hukum, maka perlindungan HAM sudah barang tentu juga merupakan tujuan penegakan hukum secara konsisten.
Salah satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama baik di dunia internasional maupun di Indonesia adalah hak anak. Masalah seputar kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak Indonesia namun tidak mampu diwujudkan oleh negara, dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Berbagai usaha dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak, yang di satu sisi terus dicegah pelaksanaannya, namun di sisi lain diharapkan dapat menjadi salah satu wujud dari usaha perlindungan anak.
Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang atau konflik bersenjata.
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat kedahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam jangka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang yang menyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.
Demikian juga di negara-negara yang dalam keadaan aman, yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak ( child labor ), anak jalanan ( street children ), pekerja seks anak ( child prostitution ), penculikan dan perdagangan anak ( child trafficking ), kekerasan anak ( violation ) dan penyiksaan ( turtore ) terhadap anak.
Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan ke- hendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya.
Pada sisi lain sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran hukum, tapi tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakukan yang tidak manusiawi oleh pihak tertentu, dan kadang kala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa perbuatannya telah melanggar hak-hak anak.

G. SOLUSI YANG DITAWARKAN
Kita memang tidak dapat menutup mata terhadap tindakan oknum pendidik yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua atau masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi pendidik. Mereka terlalu banyak menuntut pendidik agar dapat menghantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan.
Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan pendidik dalam menghadapi peserta didik yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 3 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling ( BK ). Kedua, apabila selama 3 kali pemanggilan belum menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.
Apabila UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU. No 14 tahun 2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih belum terlihat berkontribusi terhadap nasib guru dan dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru dan dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru dan dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Andy, 2009, Usaha Perlindungan Hak Anak Pada Otonomi Daerah.
Stevani Elisabeth, 2007, UU Perlindungan Anak Tak Kurangi Kekerasan,     Sinar Harapan.

Samsul Nizar, 2009, Pentingnya Undang – undang Perlindungan Guru, Riau Post.

Narni Kurniawan, 2009, Undang – undang Perlindungan Guru, Perlukah?

Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,  Sumber: LN 2002/109; TLN NO 4235.

Saiful Anam, 2008, Anak Pena Pendidikan.

Dua Tahun Undang-Undang Perlindungan Anak, Pelaksanaan Masih Jauh dari Harapan, Harian Kompas ; 2007.

R. Valentina Sagala, 2008, Institut Perempuan : Sejumlah UU. RI Abaikan HAM Anak dan  Perempuan.

Dani, 2008, Sosialisasi UU NO.23 Perlindungan Anak & Konvensi Hak Asasi Anak-anak.

UU. RI No. 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission To Employment ( Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja).

UU. RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.